STATUS KEWARGANEGARAAN ANAK DARI PERKAWINANAN CAMPURAN
Negara Indonesia tidak membatasi lingkup pergaulan warga negaranya maka dari itu peluang terjadinya perkawinan campuran antar warga negara yang berbeda semakin terbuka. Perkawinan campuran membawa dampak dalam hidup. Dampak nyata itu adalah mengenai status kewarganegaraan anak hasil perkawinan campuran tersebut. Sebelum Undang-Undang
Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 berlaku maka peraturan perundangan kewarganegaraan yang berlaku di Indonesia ialah Undang-Undang
Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958, undang-undang ini menganut asasius sangunis, dimana jika terjadi perkawinan campuran antar pria WNA dengan wanita WNI maka anak hasil dari perkawinan campuran tersebut berkewarganegaraan asing mengikuti warga negara ayahnya. Keberadaan Undang-Undang Kewarganegaraan No.62 tahun 1958 ini dinilai tidak adil dari segi kesetaraan gender dan dari segi kebebasan bagi setiap orang untuk menentukan pilihannya dalam hal kewarganegaraan.
Kesimpulannya jika Undang-Undang Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958 ini masih berlaku maka tidak ada perlindungan hukum bagi para wanita WNI yang melakukan perkawinan campuran dengan WNA serta anak yang lahir dari perkawinan campuran ini hanya akan mempunyai
hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya saja dan wanita yang menikah dengan pria WNA akan kehilangan kewarganegaraannya jika
tidak menyatakan keterangan tersebut dalam waktu 1 tahun setelah melaksanakan perkawinannya, ketentuan ini juga berlaku pada Undang- Undang Kewarganegaraan yang baru. Dengan digantinya Undang-Undang
Kewarganegaraan No. 62 tahun 1958 dan diberlakukannya Undang-
Undang Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 maka diskriminasi gender terhadap wanita berkurang, wanita kini memiliki kedudukan yang sama
seperti suaminya dan ikut andil dalam memberikan status kewarganegaraan anaknya. Pemberlakuan Undang-Undang
Kewarganegaraan No. 12 tahun 2006 ini membawa dampak menguntungkan bagi para pelaku perkawinan campuran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar